Sewaktu saya kecil, seingat saya orangtua saya gak pernah mengikutsertakan saya ke dalam sebuah lomba atau kompetisi, kecuali saat momen lomba 17 Agustusan di sekitar rumah. Itupun memang hanya untuk seru-seruan aja kaan. Semakin besar, saya gak pernah tertarik ikut kompetisi, lomba, bahkan olimpiade. Selain saya gak percaya diri, saya juga takut gak bisa mengontrol rasa kecewa ketika kalah. Yap, dari dulu saya selalu memikirkan kemungkinan terburuk dari sebuah kejadian, jadi malah lebih banyak takutnya daripada semangatnya. Saya juga gak paham, apakah ini mungkin dampak buruk dari kepasifan orangtua saya sejak saya kecil, atau memang sebenarnya gak ada masalah juga sama hal ini. Tanpa ikut lomba dan tanpa punya piala satu pun di rumah, saya merasa gak ada masalah sama sekali hingga hari ini. Jadi, saya bisa dibilang gak menyesal juga kalau dulu gak pernah ikut kompetisi.
Orangtua saya mungkin bukan orang yang melek terhadap kebutuhan anaknya, selain belajar di sekolah. Mungkin karena dulu saya tinggal bersama Bude, dan orangtua saya sibuk bekerja. Sejak kecil, kesibukan saya hanya sekolah dan mengaji, lalu mulai ikut kelas tambahan dan les saat SMA. Bisa dibilang, saya gak pernah menggali bakat dan potensi, gak pernah mengasah kemampuan, dan gak punya juga keahlian lain karena gak pernah dikenalkan. Saya hanya menemukan minat dan bakat saya di bidang menulis itu waktu di SMP karena gabung di kelompok mading, ternyata saya suka sekali menulis puisi, dan saya menemukannya sendiri tanpa dituntun oleh orangtua. Andai saya bisa balik ke masa lalu dan bisa meminta, pasti udah banyak les yang saya ikuti di luar bidang akademis, seperti berenang, karate, musik, dan lain-lain.
Kini, saat saya punya anak, saya pengin banget bisa menggali bakat anak saya dan mendukungnya. Memfasilitasi semua kebutuhannya. Memberikannya kepuasan untuk belajar hal baru dan hal selain akademis. Bagi saya, semua itu sangat menyenangkan, dan pastinya akan sangat berguna untuknya saat ia beranjak dewasa. Di usianya yang menjelang enam tahun, salah satu bakat Biandul yang sudah sangat terlihat adalah menggambar. Seperti buah yang jatuh gak jauh dari pohon, Ayahnya sangat berhati-hati dalam memenuhi kebutuhan Biandul di bidang seni. Biandul diajak bereksplorasi dalam gambar dan warna, tanpa ada pemisah antara salah dan benar. Kami, sebagai orangtuanya, sangat hati-hati dalam menuntunnya menemukan mimpi dan cita-citanya, apalagi Ayahnya yang memang bekerja di bidang seni rupa, kemudian anaknya terlihat memiliki interest yang sama. Kesempatan ini gak bisa disia-siakan oleh suami saya.
Sampai saat ini, Biandul belum pernah mengikuti les menggambar, jadi semua kemampuannya otodidak di rumah. Sesekali Ayahnya mengajarinya menggambar suatu bentuk, tapi belum dipaksa untuk memahami semua teknik menggambar. Kembali lagi ke topik kempetisi, Biandul pun gak pernah ikut serta dalam perlombaan menggambar dan mewarnai. Dulu, saya gak paham kenapa Ayahnya sangat melarang hal itu. Satu kalimat yang saya ingat, "Menggambar gak bisa dijadikan kompetisi, karena gak ada parameter benar dan salah". Saya gak terlalu paham, tapi saya sedikit setuju dulu.
Satu keresahan mulai menyentuh saya, ketika beberapa orang sering mengajak Biandul untuk ikut lomba menggambar, karena mereka melihat ada bakat besar, dan ini adalah sebuah kesempatan untuknya berlatih dan mengasah kemampuan. Saya tentunya belum bisa menjelaskan kenapa Ayahnya melarang, jadi saya hanya bisa menolak secara halus sambil memberi alasan bahwa ada perbedaan pandangan yang membuat Biandul gak bisa ikut lomba menggambar. Keresahan ini muncul lagi ketika momen 17 Agustus tahun ini mulai bisa kita meriahkan lagi, setelah bertahun-tahun dilarang karena pandemi Covid-19. Inilah tahun pertama Biandul mengenal konsep lomba/kompetisi.
Di sekolahnya, Ia akan berpartisipasi dalam lomba untuk pertama kalinya. Saya excited tapi bingung juga, takut dia gak bisa mengontrol rasa kecewanya kalau kalah, seperti yang Mamanya rasakan waktu kecil. Saya juga agak kuwalahan ternyata menjelaskan kepadanya konsep acara lomba setiap 17 Agustus, momen apa yang sedang kita rayakan, dan mengapa harus ada lomba. Nah, ternyata, Biandul have fun banget ikutan semua lombanya, gak ada rasa kecewa sama sekali waktu kalah, malah kayaknya dia gak paham deh dia tuh menang apa kalah haha, dia taunya cuma ikutan aja. Untungnya semua anak dapat hadiah hiburan meskipun kalah, jadi tetap happy semua tuh. Biandul cuma menang satu lomba aja kategori berkelompok.
Biandul ikut lomba di sekolahnya 17 Agustus kemarin |
Selain di sekolah, Biandul diajak lomba juga di rumah, tapi kayaknya energi dia udah habis duluan deh sama kegiatan di sekolahnya selama 3 hari, jadi dia gak tertarik ikutan meski dibujuk Utinya. Saya sendiri sih gak masalah juga kalau dia gak ikutan, dia lebih milih main sama temannya, lari-larian dan main sepeda. Yang penting tetap bersenang-senang. Waktu diajak ikut lomba mewarnai, dia sempat tertarik dan minta izin. Tapi saya bilang kalau mau gambar di rumah aja. Dia langsung mengiyakan dan gak merengek minta ikutan. Saya agak bingung menjelaskan kenapa gak boleh, soalnya Ayahnya lagi gak ada di rumah, dan sebenarnya yang sejak awal menentang kompetisi menggambar/mewarnai tuh ya Ayahnya Biandul ini.
Ketika Mertua saya bertanya kenapa gak boleh ikutan lomba, saya cuma bilang, "Ayahnya pernah ngelarang dulu, Bu. Katanya kalau lombanya mewarnai atau menggambar gak usah. Kalau kenapanya tuh gimana ya, bingung jelasinnya juga." Mulailah keresahan saya mencapai puncaknya. Kenapa ya saya dari dulu iya iya aja dan gak memahami alasannya juga? Kenapa ya saya gak ngotot juga nanya alasan ini ke suami saya dari dulu? Kenapa saya malah bingung sendiri ya sama aturan yang keluarga kami terapkan? Wkwkwk, agak lawak jadinya.
Padahal Utinya Biandul udah pengen nemenin dan daftarin, tapi kebetulan waktunya malam hari. Jadi, saya pakai alasan yang lebih masuk akal pada saat itu, kalau ini udah kemaleman, dan nanti selesainya lewat dari batas jam tidur malam Biandul. Lagipula dia belum makan malam, dan saya baru mau mandi waktu itu. Besoknya juga mau bangun pagi karena Biandul mau ikut pawai sepeda bareng, jadi alasan saya lebih ke waktunya aja yang gak tepat. Bingung juga kenapa lombanya malam-malam ya, padahal untuk kategori anak di bawah 4 tahun katanya.
Setelah itu, saya langsung laporan ke suami saya, "Kita butuh ngobrol. Aku belum benar-benar paham alasan kita ngelarang anak ikut kompetisi gambar, tiap ditanya orang kenapa, aku bingung jelasinnya." Waktu Ayahnya Biandul pulang ke rumah, kita langsung ngobrol. Gak kerasa ternyata kita ngobrol sampai jam 2 pagi, tapi saya langsung paham dan gak bingung lagi sama alasannya.
Suami saya, yang memang menekuni bidang seni rupa, khususnya drawing, merasa sangat bertanggung jawab jika anaknya ternyata punya minat di bidang yang sama. Semua keputusan tentang bakatnya ini harus diambil penuh kebijakan, mengingat dia belajar secara otodidak dan gak sepenuhnya difasilitasi, sehingga rasanya sangat berat merangkak dari bawah hingga sampai di titik saat ini. Ia bisa bekerja di bidang ini, memenuhi nafkah keluarganya dari menggambar, dan dia bekerja sendiri tanpa terikat oleh korporat manapun. Banyak sekali mimpi yang belum diraihnya, dan masih harus dikejar, jadi dia merasa bahwa dia berperan besar dalam membentuk minat Biandul di bidang ini. Mengenalkannya pada kompetisi hanya membuat Biandul merasa gak bisa jadi diri sendiri.
Menurut suami saya, melalui kompetisi, Biandul gak akan bisa menghargai proses dan menerima hasilnya sebagai karakter gambarnya sendiri, karena akan selalu merasa dibandingkan dengan gambar orang lain. Belum lagi dia akan mengejar hasil gambar hanya karena ingin menjadi juara, padahal menjadi juara di kompetisi itu bukan patokan prestasi yang harus diraih. Ia lebih baik mengikuti kelas tambahan khusus menggambar, meskipun kita harus mengeluarkan uang untuk biayanya, tapi diajarkan berbagai macam teknik dan proses menggambar dan mewarnai, daripada harus mengikuti kompetisi dan mengejar hadiah. Belum lagi mengatasi rasa kecewanya saat kalah dalam kompetisi. Ia gak bisa mengembangkan karakter gambarnya karena harus mengikuti standar juri.
Penilaian juri pun gak pernah ada parameternya, poin apa saja yang dinilai dan dipilih untuk menjadi juara, selain selera dari jurinya. Dalam kategori anak-anak, penilaian mungkin hanya berdasarkan kerapian, keindahan bentuk, dan komposisi gambarnya, yang mana itu semua gak pernah ada nilai benar dan salahnya. Apakah ada kompetisi menggambar anak yang dinilai berdasarkan teknik arsiran, kemiripan objek yang digambar, komposisi terang dan gelap, dan proporsi yang sesuai? Apakah juri yang ditunjuk punya keahlian di bidang seni rupa? Jika tidak, maka sebenarnya penilaian tersebut sangat rancu. Jika dibilang "ini kan cuma lomba anak-anak doang", nah jadinya malah makin memperburuk mindset yang dibentuk sejak dini.
Kalau anak-anak tidak diniatkan sejak awal untuk menjadi seniman, mungkin penilaian waktu lomba menggambar gak ada pengaruhnya. Menang ya senang, kalah juga besok udah lupa. Tapi, kalau sudah jadi cita-cita anak sejak kecil dan mau dikembangkan secara serius sampai Ia besar, penilaian dalam kompetisi itu bagaikan bumerang, yang akan menyerang balik ke diri anak itu, dan malah bisa meredupkan minatnya kalau kalah. Padahal untuk bisa menjadi juri atau kurator sebuah karya seni rupa, seseorang harus mengambil pendidikan di jurusan seni rupa. Beda halnya dengan olimpiade sains, yang mana kompetisinya dinilai berdasarkan poin tertinggi yang dapat diperoleh seseorang jika bisa menyelesaikan soal yang diberikan. Setiap soal punya jawaban yang sangat absolut, jika benar ya benar, dan jika salah ya salah. Gak ada perspektif yang berbeda dari setiap juri.
Ayahnya Biandul pernah bilang, bahwa Biandul bisa saja masuk ke sekolah seni kalau sampai besar Ia masih punya minat di bidang seni rupa. Tapi, kita gak pernah mau ikut campur dalam keputusannya karena itu hak penuh Biandul dalam memutuskannya nanti. Biasanya, anak kecil suka menonjolkan minatnya di beberapa bidang, dan akan meninggalkan bidang yang ternyata gak sesuai dengan keinginannya lagi di kemudian hari. Misalnya, waktu kecil sangat suka musik dan orangtuanya mendaftarkan les musik, tapi bisa jadi anaknya lama-lama akan pindah ke bidang lain karena udah gak minat lagi di musik. Setidaknya, orangtuanya sudah memfasilitasi anaknya dengan membiarkannya mengenal minatnya satu per satu. Untuk sekarang, Biandul belum mengambil kelas tambahan menggambar, tapi Ia sedang diajak ikut kelas Muay Thai. Kalau yang ini sih lebih ke kemampuan bela diri, yang saya dan suami yakini sangat berguna untuknya. Lain kali, saya akan tulis tentang kelas ini deh, kalau sudah sempat.
Balik lagi ke kompetisi di bidang seni rupa, menurut suami saya, kreativitas gak bisa semudah itu dinilai dan dipilih untuk jadi juara 1, 2, dan 3. Kreativitas gak punya batas antara benar dan salah. Seseorang yang ingin menjadi seniman, bisa memperdalam teknik menggambar dengan cara belajar dan menempuh pendidikan, bukan dengan kompetisi.
Bian dapat hadiah lomba 17 Agustusan di sekolahnya karena menang lomba berkelompok |
Saya pernah baca dari Blognya R.E. Hartanto, bahwa meskipun Beliau (juga) menentang praktek kompetisi atau lomba menggambar, Beliau tetap gak bisa menghapus/melarang kegiatan tersebut, jadi biarkan saja kegiatan tersebut tetap ada dan dilaksanakan. Biarkan anak-anak yang mau berpartisipasi. Kembali lagi ini adalah value keluarga pada masing-masing pola asuh, mau menerapkan yang mana saja itu tidak apa-apa. Tidak ada yang salah atau benar, selama anaknya sendiri juga tidak keberatan atau merasa terpaksa. Kalau anak punya perasaan seperti itu, lalu jadi stres karena tekanan dari keluarga, ini menurut saya sudah termasuk child abuse.
Orangtua yang memaksakan kehendak pada anaknya, tanpa berpikir bahwa anak punya hak memilih atas hidupnya sendiri, termasuk child abuse. Penyebabnya bisa ada pada inner child orangtuanya yang mungkin belum pulih dari luka masa lalu, atau dendam ke diri sendiri karena punya ambisi yang belum kesampaian, sehingga secara gak sadar memaksa anak menjadi apa yang diinginkan. Nah, jangan sampai kita berperilaku seperti itu ke anak yaah.
Apapun pilihan pola asuhmu, berikan yang terbaik untuk anak. Saat anak masih kecil, semua kontrol ada di tangan kita. Tapi, jangan lupa bahwa anak juga bertumbuh. Mereka punya hak juga dalam memilih dan memiliki keinginan dalam hidupnya. Give them some respects! ✨
Ada yang punya opini atau tanggapan lain? Share di komentar ya! 😊