Kita semua sama-sama tahu, bahwa pandemi Covid-19 sudah berlangsung selama dua tahun di Indonesia. Kita juga sama-sama tahu, kalau segala cara sudah kita lakukan demi bisa menghindari virus ini "mampir" ke tubuh kita dan keluarga, tapi hasilnya tetap aja banyak banget juga yang kena. Bahkan, semenjak ada varian Omicron yang masuk ke Indonesia, penyebarannya langsung masif banget. Hampir semua teman saya mengabarkan tertular, padahal udah vaksin dosis lengkap dan jarang ke luar rumah.
Yaaa, memang benar sih kalau vaksin itu hanya mencegah, tapi tetap punya risiko tertular. Hanya saja, mungkin gejalanya akan lebih ringan dan lebih mudah sembuh. Jadi, jangan sampai ngerasa menyesal atau sia-sia kalau udah vaksin tapi masih juga kena risiko tertular Covid-19. Sama aja kayak pasang KB yang cuma bisa mencegah kehamilan, tapi selalu punya risiko kebobolan juga, hehehe.
Yang bikin sedih, capek, stres, pusing, dan segala macam perasaan gak enak adalah bahwa selama dua tahun pandemi, keluarga saya mengalami tiga kloter/gelombang Covid-19 tiap tahunnya. Yang paling terakhir sudah gak tahu lagi deh mau mikir kayak gimana huhu. Apalagi kalau mikirin ada anak kecil di rumah, dan gak tega banget kalau sampai kena juga. Makanya saya benar-benar berusaha jaga diri supaya gak kena dan jadi ngerepotin orang banyak.
Tapi, harapan hanyalah harapan...
Akhirnya saya kena giliran juga. Padahal gak ngantre loh, serius deh :(
KASUS PERTAMA COVID-19
Berawal dari kasus pertama di rumah ini, yang kena adalah bapak mertua saya di tahun 2020. Tahun pertama Covid-19 masuk ke Indonesia sejak Maret 2020. Kondisinya agak mengkhawatirkan, karena saat itu juga penyebarannya lagi parah banget. Kasusnya tinggi, rumah sakit dan wisma atlet penuh, susah mendapat perawatan, dan jangan lupa dengan penyebaran hoaks yang gak kalah masifnya dengan penyebaran virus itu sendiri. Dengan berbagai kabar yang simpang siur, banyak orang yang lebih percaya konspirasi dibandingkan omongan para Dokter dan tenaga kesehatan. Banyak yang gak mau di-test, gak mau dirawat, bahkan gak percaya sama semua kasus ini. Yang saya bisa lakukan hanyalah menjaga keluarga dan saudara terdekat, memastikan mereka untuk tetap sehat dan tidak terpancing dengan berita palsu.
Bapak mertua saya, bersedia menerima perawatan setelah merasakan kesehatannya menurun. Ternyata hasilnya positif Covid-19 dan harus dirawat. Untungnya, masih ada bed kosong tersedia. Setelah dua minggu dirawat dan diisolasi, Beliau pulang ke rumah, dan masih melakukan isolasi selama seminggu. Total sakit sampai sembuh dan dinyatakan negatif Covid-19 hampir sebulan.
Dalam kasus ini, kondisinya lumayan mengkhawatirkan karena dilihat dari usia dan gejala yang dialami agak berat, belum lagi ada sedikit flek di paru-parunya. Jadi, kami sekeluarga memang stres berat dan takut kenapa-kenapa. Hingga akhirnya bapak mertua sembuh, kami semua lega dan sangat bersyukur bisa menghadapi semua ini dengan sabar dan kompak. Bergantian kami mengantar keperluan Beliau ke rumah sakit dan menitipkannya pada suster karena gak bisa bertemu langsung.
KASUS KEDUA COVID-19
Gak cukup satu kali, si virus ini ternyata "mampir" lagi di tahun 2021. Kali ini suami dan adik ipar yang kena. Tiga orang sekaligus. Masih kurang dramatis? Okay, kasus kedua ini berbarengan juga dengan jadwal vaksin kedua mertua saya, yang dapat merek Astra Zeneca. Tahu sendiri kan KIPI-nya vaksin ini kayak apa? Dua mertua saya akhirnya tumbang dua hari setelah vaksin. I'm the only one who struggling at home, sehat sendirian dan harus jagain anak tiga tahun, dan lima anggota keluarga yang sakit berbarengan.
Stres dan capek parah. Tapi yaa mau gimana lagi kan. Jalanin aja dan sabar, pasti semuanya sehat lagi kok. Setelah menunggu isolasi dua minggu dan antigen lagi, akhirnya hasilnya negatif. Senang banget, apalagi Biandul juga udah kangen banget sama Ayahnya.
Cerita tentang saya selama merawat suami isoman di rumah pernah saya tulis.
Baca di sini untuk cerita lengkapnya ya: Suami Positif Covid-19, Bagaimana Cara Merawat Selama Isoman di Rumah?
KASUS KETIGA COVID-19
Setelah kedua mertua saya udah vaksin AZ, suami dan adik ipar udah sembuh dari virus Covid-19, saya juga akhirnya memutuskan untuk langsung vaksin, dan kebetulan dapat merek Sinovac. Takut kena kasus susulan dan bergejala parah kalau belum vaksin sama sekali. Saya takut banget karena gak bisa bayangin gimana caranya pisah sama anak saya selama isoman, karena dia gak pernah sama sekali jauh dari saya. Gak pernah tidur dengan orang lain, menginap tanpa saya, atau bahkan ditinggal pergi-pergi. Jadi, anak saya gak bakalan bisa pisah. Bakal kayak gimana kondisinya nanti? Saya gak bisa bayangin.
Setelah kasus Covid-19 di Indonesia akhirnya menurun drastis di akhir tahun 2021, ternyata malah naik lagi di awal tahun 2022. Varian Omicron masuk ke Indonesia dan menyerang orang-orang dengan cepat, yang bahkan hampir semuanya udah vaksin lengkap dua dosis, termasuk saya. Tapi, yang saya amati, virus ini cepat menular, tapi gejalanya sangat ringan dan cepat sembuhnya. Entah karena efek vaksin atau memang varian kali ini ringan, tapi banyak teman saya yang sudah dinyatakan negatif di hari kelima, paling lama hari kesembilan.
Ternyata, Omicron kali ini tertarik "mampir" ke tubuh saya, dengan gejala yang ringan. Hal yang saya takuti sejak awal, kejadian juga. Setelah merasakan sakit di tenggorokan yang gak kunjung sembuh, di hari ketiga saya test PCR, yang ternyata hasilnya adalah positif, tapi suami saya negatif. Karena selama sakit saya masih kontak sangat erat dengan anak dan suami, kami semua memutuskan isoman bersama. Biandul gak menunjukkan gejala apapun dan gak melakukan test PCR, tapi gak mau pisah dari saya serta gak ada orang yang bisa dititipin, jadi dia ikut saya isolasi di kamar.
GEJALA COVID-19 VARIAN OMICRON
Saya sempat membaca dari berbagai sumber tentang gejala khas Omicron yang menyerang tenggorokan seperti sakit radang, serta batuk dan flu berat. Banyak juga yang disertai demam dan badan linu. Dari situ, saya jadi berasumsi kemungkinan saya tertular varian Omicron. Tapi, yang saya rasakan hanya sakit tenggorokan yang secara tiba-tiba dirasakan saat awal bangun tidur selama seminggu penuh. Kemudian muncul gejala susulan batuk dan flu, tanpa demam dan badan linu.
Saya masih bisa beraktivitas seperti biasa, tapi gak bisa ke mana-mana, kebayang kan rasanya? Apalagi gak bisa leluasa juga bebersih rumah, masak makanan anak, beli kebutuhan rumah. Akhirnya harus ngerepotin suami yang juga sambil kerja di rumah, harus bolak-balik bantuin saya yang gak bisa ke mana-mana. Thousand claps buat suamiii!
Yang bikin pusingnya lagi tuh ya karena setiap hari jadi harus beli makanan online karena gak bisa masak sendiri dan gak ada yang masakin di rumah. Boros banget yakan. Dan juga di sela kesibukan ibu mertua yang juga kerja, masih sempat bikinin air jahe buat saya supaya tenggorokan saya lebih enakan huhu. Makasih ya, Buuu.
OBAT-OBATAN SELAMA PENYEMBUHAN
Sebelum ketahuan positif, saya mengabaikan rasa sakit di tenggorokan karena mikir mungkin cuma lagi radang atau panas dalam. Tapi, ternyata makin parah sakitnya apalagi kalau baru bangun tidur. Rasanya kayak diganjel batu di tenggorokan, gak bisa menelan apapun bahkan walaupun cuma air minum. Setelah hasil test menunjukkan positif Covid-19, saya langsung konsul ke Dokter melalui telemedicine. Dokter memberikan resep digital yang harus ditebus. Sebagian saya tebus pribadi, sebagian saya tebus melalui Kemenkes secara gratis. Jadi, obat gratisnya itu gak sepenuhnya gratis yaa, teman-teman.
Dari resep yang diberikan Dokter melalui telemedicine, saya diberikan obat flu, batuk, dan beberapa multivitamin tambahan. Paket obat yang ditebus dari Kemenkes berisi antivirus, paracetamol, dan multivitamin lainnya juga. Saya minum semuanya setiap hari dan berharap segera sembuh dan negatif.
Setelah seminggu, gejala yang saya rasakan belum juga membaik. Saya sempat berpikir mungkin karena saya telat meminum obatnya, baru di hari kelima. Jadi, recovery tubuh saya juga lambat. Setelah sembilan hari, gejala mulai membaik. Tenggorokan saya sudah gak terlalu sakit, tapi batuk dan flu masih sangat mengganggu, apalagi batuk kering. Di hari kesembilan, saya coba test antigen karena berharap sudah negatif, tapi ternyata hasilnya masih positif. Sedih, huhu. Saya tetap melanjutkan isoman lagi di rumah.
Di hari ke-12, saya sudah merasa sangat sehat. Semua gejala sudah hilang. Jadi, saya menggenapkan masa isoman saya sampai dua minggu, tapi gak melakukan test lagi. Kenapa? Karena merujuk ke Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/18/2022, menyatakan bahwa pasien dapat melakukan isoman selama 10 hari bergejala ditambah 3 hari tanpa gejala. Meskipun tanpa test lagi, pasien dianggap sudah sembuh jika semua gejalanya sudah hilang selama isoman 13 hari. Selain itu, gak tahu kenapa saya takut banget hasil test-nya masih positif meskipun gejala yang saya rasakan sudah hilang, jadi kayak buang banyak uang buat test doang huhu. Tapi, kalau memang pilihan orang lain dirasa lebih secure untuk test lagi sampai hasilnya negatif juga gapapa banget kok, hehe.
CARA MENEBUS OBAT DARI KEMENKES
Mungkin info ini udah banyak yang tahu ya, tapi pengin saya rangkum lagi untuk orang-orang yang belum tahu atau mau kasih info ke keluarga besar supaya lebih banyak yang tahu. Jangan lupa share, ya!
Teman-teman tentunya harus melakukan test antigen/PCR dulu di lab yang terafiliasi dengan sistem NAR (New All Record) Kementrian Kesehatan, supaya hasilnya juga ter-update di database dan aplikasi PeduliLindungi. Lalu, lab tersebut juga akan melaporkan NIK kamu ke Kemenkes, dan Kemenkes akan mengirimkan pesan ke pasien yang berisi link untuk menebus obat Covid-19. Urutan langkah-langkahnya dapat kamu lihat secara jelas pada gambar di bawah ini yaa.
Oiya, jika NIK kamu gak terdaftar sebagai pasien positif Covid-19, maka kamu gak akan bisa menebus obat dari Kemenkes tersebut. Jadi, pastikan lab tempat kamu test harus terafiliasi dengan sistem NAR.
Pengalaman saya kemarin, saya harus menunggu hasil test PCR keluar selama maksimal 24 jam. Bangun tidur jam 7 pagi, hasil test saya keluar positif. Saya langsung konsul ke Dokter via telemedicine, tapi belum bisa menebus obat dari Kemenkes karena masih menunggu NIK saya terdaftar. Sore hari, NIK saya sudah terdaftar dan mulai bisa menebus obatnya.
Obat dari Kemenkes dikirim melalui jasa kurir Sicepat, di-pickup hari itu juga, dan sampai di rumah saya keesokan harinya (ketika saya sudah hari ke-5 bergejala).
PERAWATAN LAINNYA
Selain meminum obat-obatan yang sesuai dengan gejala, saya gak terlalu banyak melakukan perawatan lain karena kondisi fisik saya yang masih okay. Saya cuma sangat terganggu dengan radang tenggorokan yang sakitnya lama banget, juga batuk kering yang gak hilang-hilang. Untuk menyamankan tenggorokan, saya meminum air jahe yang direbus dengan gula merah, juga membeli permen pelega tenggorokan. Di tiga hari pertama saya cuma bisa makan bubur, setelah itu saya makan seperti biasa karena Dokter bilang gak ada pantangan dalam makan dan minum.
Sakit tenggorokan saya menghilang di hari kesembilan, flu saya membaik di hari ke-11, dan batuk saya hilang di hari ke-14. Lalu saya sembuh seperti biasa lagi. Syukurlaaaah. Saya senang bisa melewati kondisi ini dengan baik, tapi sedih juga karena kecolongan kena sampai tiga kali kasus di rumah. Apalagi ketika saya benar-benar sudah full bedrest dan selalu pakai masker, Biandul nangis beberapa kali karena katanya sedih lihat Mama sakit. Yhaaa, gimana saya gak mau ikut nangis ya huhu.
Semoga ini adalah gelombang virus terakhir yang kita alami dan pandemi ini segera berakhir yaa, teman-teman. Sebentar lagi kita ketemu bulan Ramadan ketiga selama pandemi dan kita pasti berharap bisa bukber bareng teman-teman tanpa worry, bisa tarawih dan sholat Ied dengan tenang dan silaturahmi lancar tanpa harus dilarang berkerumun seperti tahun-tahun berikutnya.
Kamu punya cerita juga gak menjadi alumni Covid-19? Yuk cerita di sini sama-sama.
Salam dari saya alumni yang baru lulus tiga minggu yang lalu hehe.
Sumber tambahan: