Seorang selebriti terkenal diberitakan melakukan kekerasan terhadap mertuanya saat terlibat konflik tentang pola asuh anak, yang akhirnya memutuskan untuk berpisah dengan pasangannya dan menerapkan co-parenting. Hmm, pernah dengar dan bisa menebak gak, siapa yang ada dalam berita tersebut? Yap, Zayn Malik dan Gigi Hadid sedang berada dalam situasi sulit itu. Sejak bulan lalu, perseteruan Zayn dan Yolanda, Ibu dari Gigi Hadid memanas, yang mengakibatkan putusnya hubungan Zayn dan Gigi.
Hal tersebut pada akhirnya memengaruhi pola asuh mereka terhadap anaknya, Khai. Meskipun berpisah, mereka sepakat menerapkan co-parenting, artinya membagi secara adil peran orangtua terhadap anak bergantian. Pemicu konflik ini dikabarkan karena sang Ibu Mertua gak bisa menjaga privasi cucunya, Khai, padahal Zayn dan Gigi melakukan hal sebaliknya. Makanya, wajah Khai sampai sekarang gak pernah ditampakkan, supaya ia punya ruang privat dan gak selalu jadi incaran papparazi.
Nah, inilah kadang yang membuat hubungan menantu dan mertua sering memanas, salah satunya bisa jadi dipicu karena adanya banyak intervensi dalam rumah tangga. Yang jadi korban kalau orangtuanya berpisah, jelas anaknya dong. Makanya, penting banget buat kita paham bahwa setelah berumah tangga, ada hal-hal yang menjadi privasi, dan ada juga hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan persetujuan (consent), supaya anggota keluarga lain punya batasan sebelum melakukan intervensi (ikut campur).
PENGERTIAN PRIVACY DAN CONSENT
Semua orang pasti memiliki batasan pada dirinya, dan butuh ruang privat yang gak melibatkan campur tangan dari orang lain. Privasi sendiri sangat penting bagi diri kita untuk sejenak lepas dari urusan dengan individu lain dan mengontrol hal apa saja yang perlu dan gak perlu diterima. Intinya, kita punya hak untuk gak diganggu atau diintervensi oleh orang lain.
Apa bedanya dengan consent?
Consent sendiri berarti persetujuan. Seiring dengan perkembangan ilmu, kita sudah sering mendengar istilah ini dari orang-orang, yang kebanyakan merujuk pada aktivitas seksual. Pemahaman ini membawa kita pada sebuah konsep tentang pembatasan diri, yang artinya adalah bahwa kita memiliki hak untuk menolak sesuatu yang bertentangan dengan apa yang kita setujui. Artinya, kita memiliki kendali penuh atas diri tentang apa saja yang bisa mungkin terjadi.
Dalam konteks aktivitas seksual, seseorang harus melakukan hal tersebut atas dasar persetujuan kedua belah pihak, yang mana hal ini tentunya harus dipelajari sejak dini dari lingkungan terdekat, yaitu keluarga. Dari keluarga, anak belajar tentang anatomi tubuh, siapa yang boleh dan tidak menyentuh anggota tubuhnya, baju apa yang mau/tidak mau ia kenakan hari itu, siapa saja yang boleh mencium dan memeluknya, hingga memberikan izin untuk mengunggah fotonya di Internet. Sehingga, batasan diri anak akan kuat untuk melindungi diri dari segala bentuk pelecehan.
Kita, sebagai orangtua, juga harus membiasakan diri untuk gak melewati batas yang dibentuk oleh anak. Sayangnya, masih banyak orang dewasa yang gak paham. Banyak yang berpikir bahwa anak kecil itu paling seru digodain, bahkan sampai anaknya sudah menangis pun kita cuma tertawa dan bilang, "Gitu aja nangis, jangan cengeng dong". Hal itu sangat berbanding terbalik pada konsep konsensual, yang sedari tadi kita bahas.
Biandul, sejak melewati usia 3 tahun, sudah sering memberi tanda bahwa dia gak mau difoto/rekam. Jadi, saya mulai membiasakan diri untuk izin dulu, "boleh Mama foto gak?" Kalau gak boleh, saya akan sangat menghormati keputusannya. Makanya, di media sosial saya udah mulai jarang banget ada foto Biandul kalau bukan karena dibolehin sebelumnya.
MENGAPA MEMAHAMI PRIVASI DAN CONSENT ITU SANGAT PENTING?
Batasan yang dibentuk oleh seseorang menandakan bahwa ia gak bisa mengizinkan orang lain masuk lebih dalam atau ikut campur lebih banyak. Contoh paling nyata adalah kehidupan selebriti yang gak pernah jauh dari media. Meskipun seseorang udah sangat menutup rapat kehidupan pribadinya, tapi masih banyak banget pers yang melanggar dan bahkan menyajikan berita aneh, entah dari mana sumbernya, yang membuat selebriti tersebut terganggu privasinya.
Privasi dan consent gak bisa dipisah kaitannya, karena sangat berhubungan satu sama lain. Selebriti yang tertutup pada kehidupan pribadinya pasti bertujuan punya hidup yang lebih tenang. Selain Zayn dan Gigi Hadid yang gak mengekspos wajah anaknya atas nama privasi, ada juga pasangan selebriti lain seperti Adam Levine dan Behati Prinsloo. Selebriti Indonesia pun banyak yang melakukan hal yang sama, contohnya Raisa dan Hamish Daud. Privasi mereka sangat dijaga ketat demi kenyamanan hidup. Seneng deh liatnya, kita jadi cuma bisa nilai mereka dari karya, bukan sensasinya.
Andai aja dulu saya gak norak, baru punya anak bawaannya mau foto-fotoin setiap hari, sampai akhirnya isi Instagram cuma penuh dengan wajah anak doang. Gak ada kehidupan lain yang lebih menghebohkan dari tingkah lucu anak, dan seluruh dunia harus tahu. Nah, banyak nih orangtua baru yang punya perasaan kayak gini. Bedanya, ada yang bisa menjaga batasan, ada juga yang kelepasan. No wonder yah, banyak banget orangtua jaman sekarang yang bikinin anaknya akun Instagram, yang akhirnya kesehariannya gak jauh dari kamera demi konten.
BATASAN DALAM SHARING TENTANG KELUARGA DI INTERNET
Semakin Biandul bertumbuh besar, saya semakin capek dan males main socmed karena mulai bosan. Sejak saat itu, saya mulai cari kegiatan lain untuk mengisi waktu luang dan melupakan trend socmed, berusaha fokus sama kebutuhan Biandul aja secara nyata, tanpa harus gatel pengin show off mulu tentang anak.
Foto dan video Biandul pelan-pelan mulai hilang satu per satu, cuma menyisakan beberapa momen aja. Keputusan itu diperkuat lagi setelah Biandul mulai bisa menunjukkan batasan dirinya sejak usia 3 tahun. Tiap lagi nyanyi, saya rekam, dia berhenti. Tiap saya foto, dia tutup muka. Saya jadi paham kalau saya gak boleh maksa kalau dia gak mau. Makanya, saya mulai izin sama dia sebelum foto/rekam.
Saya pengin jadi orang yang dipercaya Biandul sampai dia beranjak dewasa. Kalau saya maksa padahal dia udah gak mau, lama-lama dia akan anggap saya sebagai Ibu pemaksa, jadi kepercayaan dia ke saya pun takutnya memudar.
SAAT ANAK SUDAH PAHAM CONSENT
Ketika saya lihat bahwa Biandul udah paham tentang konsensual ini, saya mulai meminta izin dalam melakukan segala hal, misalnya: minta izin pegang anggota badannya saat mandiin (tapi udah gak mandi bareng), minta izin minta camilannya, minta izin tinggal sebentar untuk masak atau cuci baju (kalau gak boleh, akan saya temani main tapi pakai batas waktu sekian menit sebelum saya tinggal masak atau cuci baju).
Saya juga sering ajak dia memutuskan sesuatu sendiri. Misalnya pilih baju setelah mandi, pilih sepatu sebelum bepergian, pilih menu makanan, atau hari ini mau main apa aja. Kadang, cara ini bisa bikin anak auto nurut loh. Mungkin, kalau cara negosiasi kita menarik, dia jadi gampang paham, contohnya kalau dia sudah dibolehin jajan camilan di minimarket, maka abis ngemil dia harus sikat gigi sebelum tidur. Tanpa drama, dia nurut...
...ya tapi banyak juga sih adegan gak nurutnya, hehe.
CARA MENJAGA PRIVASI DAN CONSENT SEBAGAI VALUE KELUARGA
Membentuk value keluarga juga harus dilakukan sejak awal supaya anak bisa lebih paham bahwa ada sebuah nilai yang dibentuk dalam keluarga dan gak bisa diganggu gugat, salah satunya adalah tentang batasan diri ini. Bagaimana sharing di social media yang bijak (gak semua hal pribadi di-share), bagaimana cara menjaga diri dari ancaman di luar, bagaimana cara mencegah pelecehan, dan hal-hal lainnya yang sesuai dengan nilai yang telah dibentuk keluarga sejak awal.
Cara menjaga value keluarga, dalam hal ini terkait dengan privacy dan consent, saya jabarkan dalam poin-poin berikut:
Ada contoh kasus yang sesuai dengan pengalaman pribadi keluarga saya. Meskipun orang lain ada yang maksa cium Biandul padahal anaknya udah gak mau sampai nangis-nangis, kita coba tenangkan dulu dan berusaha paham bahwa dia lagi ngerasa kecewa banget. Tapi, kita harus tetap kasih pengertian bahwa rasanya dipaksa itu gak enak, jadi kita juga gak boleh paksa orang lain kayak gitu. Kadang masih suka gak nyangka kalau Biandul gampang banget dikasih afirmasi dan dia langsung paham.
Waktu saya lagi beberes mainannya Bian, saya pernah minta izin, "Kita bagi mainan Bian yuk ke anak kecil lain, karena mainan Bian udah kebanyakan. Tapi, Bian yang pilih mana mainan yang boleh dan gak boleh dikasih." Akhirnya kita berdua seleksi semua mainan, dan kita kasih ke anak lain yang membutuhkan. Dengan begitu, dia ngerasa juga ikut ambil keputusan, dan gak ngamuk kalau nyariin mainannya gak tahu di mana, karena saya gak izin ketika eliminasi.
Pernah juga kejadian ketika temannya main ke rumah, mau pinjam satu mainan Biandul, tapi saya bilang kalau mainan itu gak boleh dipinjam/dibawa ke orang lain karena kalau rusak susah diperbaiki, kalau hilang gak akan dibelikan lagi, jadi harus dijaga baik-baik. Lalu, dia bilang ke temannya, "Jangan mainin yang ini. Nanti rusak. Mainin yang lain aja." Kebetulan temannya sempat maksa. Terus Biandul marah, "Kan udah dibilang, jangan. Yuk jangan maksa yuk." 🤣
Ini saya gak lagi ngajarin pelit. Saya cuma kasih tahu ke Bian kalau ada beberapa mainan yang sebaiknya dimainkan sendiri aja di rumah, supaya gak cepat rusak/hilang, karena mainannya mahal atau belinya jauh banget atau memang susah dicari. Jadi, dia akan paham konsep berbagi tapi dengan sebuah batasan. Ada yang boleh dipinjam, ada yang gak boleh.
Untuk saya sendiri, belajar tentang membentuk sebuah privasi itu sama juga belajar mengontrol tentang apa aja yang boleh dan gak boleh kita share ke publik. Semacam gak sesumbar gitu, sih. Jadi bisa lebih bijak aja dalam sharing di Internet.
Contohnya misal, suami saya gak pernah suka foto, makanya kita cuma punya sedikit foto bareng, itupun karena dia yang mau dan belum tentu boleh di-upload. Meskipun satu keluarga, tapi kita harus saling paham. Kalau kita narsis tapi suami gak mau, ya jangan paksa foto bareng buat konten. Lebaran dan ultah anak aja suami saya yang fotoin, tapi dianya gak pernah ikut foto bareng, haha.
Banyak banget loh teman saya yang gak pernah kasih tahu tanggal lahirnya, jadi saya gak pernah juga bisa ucapin atau celebrate bareng. Tapi, ada juga yang blak-blakan buka diri tentang orientasi seksualnya atau kondisi rumah tangganya yang gak baik-baik aja. It's okay, semua tergantung pilihan dan value masing-masing aja.
Kalau menurut pendapatmu gimana? Sharing yuk!