Pernah gak sih kepikiran masa tua kita nanti akan kayak apa? Apakah masih tinggal sama anak dan cucu, atau berdua suami aja di hari tua, atau malah masuk ke panti werdha/senior living? Ets, jangan salah. Panti werdha tuh sekarang udah banyak yang bagus dan nyaman, lho. Saya pernah banget sih kepikiran tentang ini, saat orang lain mungkin lebih banyak yang ingin tinggal bersama anak mereka hingga tutup usia. Banyak alasan yang melatarbelakangi keinginan saya untuk menghabiskan masa tua di panti werdha/panti jompo. Tapi, sebelum memutuskan itu, saya dan suami juga pasti punya prioritas cita-cita/impian masa tua kita berdua. Kita memang merencanakannya, tapi dalam prosesnya ternyata gak mudah. Ada beberapa aspek dan kemungkinan lain yang membawa saya pada banyak pilihan untuk menghabiskan masa tua. Makanya, saya kayak mikirin rencana lainnya yang mungkin akan jadi opsi untuk masa tua saya, dan panti werdha/senior living yang nyaman adalah salah satu yang menarik perhatian saya.
MEMUTUSKAN GENERASI SANDWICH
Saya pernah tahu rasanya menjadi generasi sandwich; generasi yang memiliki tuntutan untuk menjadi tulang punggung keluarga, menafkahi seluruh anggota keluarga, dan akhirnya jadi terpaksa harus merelakan banyak mimpi yang tertunda atau bahkan mungkin gak sanggup dicapai karena memiliki beban ini. Orangtua yang tidak memiliki dana pensiun atau bekal di masa tua, kemungkinan besar akan bergantung pada kemampuan anaknya yang masih sanggup mencari nafkah. Pada akhirnya, si anak jadi harus membagi pendapatannya untuk dirinya sendiri dan juga keluarga. Belum lagi jika si anak sudah menikah. Ia jadi memiliki dua tanggung jawab besar yang akan selalu membayangi hidupnya.
Sumber artikel dari Tirto |
Ketika ayah dan ibu saya memutuskan untuk berpisah saat saya lulus kuliah, saya adalah satu-satunya orang yang bekerja dan harus memenuhi kebutuhan ibu saya sehari-hari. Menabung jadi terasa sangat sulit. Apalagi dengan lifestyle yang dulu membuat pengeluaran juga bengkak. Sampai akhirnya, saat saya memutuskan untuk menikah dan punya anak, saya masih terus khawatir dengan kehidupan ibu saya yang kini sendirian, karena saya anak tunggal. Gak disangka-sangka, ibu saya melangsungkan pernikahan keduanya saat anak saya belum lahir. Ini adalah sebuah kondisi di mana saya lumayan bisa bernapas lega, karena saya merasa terbantu oleh tanggung jawab suami baru dari ibu saya. Meskipun saya masih sering memberi uang untuk ibu saya, tapi kebutuhan itu tidak sepenuhnya dibebankan hanya kepada saya sendiri. Apalagi kebutuhan anak akan sangat besar ketika sudah lahir. Ini adalah rencana Tuhan yang gak disangka, ya. Kayak kekhawatiran apapun tuh semua sudah ada jawabannya di waktu yang tepat hehe.
Saya gak mau Biandul merasakan beban yang sama ketika ia dewasa nanti. Saya gak mau hidup hanya bergantung dari penghasilan anak ketika saya udah memasuki usia non produktif dan tidak mampu lagi bekerja dan menghasilkan uang. Solusinya? Saya harus punya tabungan masa tua. Saya juga harus mulai merencanakan rumah masa tua, dan kebutuhan apa saja di dalamnya. Saya sudah harus merasa cukup dengan apa yang saya punya saat usia dewasa, supaya di masa tua nanti, saya sudah puas dengan segala yang pernah saya raih. Saya gak mau Biandul jadi generasi sandwich, seperti yang sudah pernah saya lalui. Semua kondisi itu harus segera diputus, agar tidak menjadi siklus buruk turun temurun.
Baca juga: Menanam Nilai Kebaikan
RENCANA MASA TUA
Saya dan suami pernah sepakat ingin menghabiskan masa tua di tempat yang tenang, sejuk, tidak terlalu ramai seperti ibukota, dan kita bisa melakukan apapun yang kita suka di rumah kita. Entah itu bercocok tanam, memiliki peliharaan, menanam bunga, menjahit, atau bahkan beternak. Kita masih belum tahu, apa saja yang akan mampu kita lakukan. Tapi, selagi masih punya waktu, saya mau belajar banyak hal. Saya mau menyukai banyak hal. Saya mau menguasai banyak hal. Saya mau masa tua saya tidak membosankan. Saya dan suami juga butuh merencanakan di mana kami akan membangun rumah masa tua. Rumah yang mungkin hanya saya dan suami yang menempatinya berdua setelah Biandul berkeluarga dan hidup mandiri. Hmm, kira-kira di mana ya tempat yang tenang dan nyaman untuk menghabiskan masa tua?
Dan, satu lagi, jangan lupa menabung. Dana pensiun adalah satu hal penting yang wajib dimiliki. Harta ini bisa berupa uang, investasi di reksadana, saham, atau emas. Bisa juga berupa asuransi. Tentunya, semua ini harus dimulai sedikit demi sedikit, sesuai kemampuan kami, untuk bisa menjadi bekal di hari tua dan gak merepotkan anak.
MENETAP DI PANTI WERDHA/SENIOR LIVING
Entah sudah berapa lama saya punya pemikiran ini. Tapi, saya punya banyak hal yang selalu dipikirkan, dan mungkin opsi ini akan jadi salah satu opsi yang saya simpan paling terakhir.
Ketika sudah tua, entah saya atau suami yang meninggal dunia lebih dulu, kita semua gak pernah ada yang tahu. Kemungkinan terburuk lainnya pun masih sangat bisa terjadi; seperti sakit keras, kecelakaan yang menyebabkan kecacatan, perceraian, kemungkinan itu semua gak bisa saya duga datangnya, meskipun saya gak pernah berharap salah satunya kejadian di keluarga saya. Tapi, akan selalu ada banyak kemungkinan yang terjadi dalam hidup. Kita hanya harus terus berusaha bersiap, gak menyangkal, karena hidup memang penuh kejutan!
Jika ternyata saya harus menghabiskan masa tua sendirian tanpa suami, saya lebih merasa nyaman jika saya berada di tempat yang terjamin. Saya gak pernah merasa anak saya adalah anak durhaka jika memasukkan orangtuanya ke panti werdha. Tempat ini, bagi saya, hanya semacam kontrakan bagi orang-orang lansia, yang di dalamnya ada banyak kegiatan bersama, ada para pekerja yang bisa membantu kita, dan tentunya kita gak akan merasa membebani anak. Ketika anak sudah berkeluarga, mereka juga punya kehidupan impian yang akan mereka raih, dan tentunya belum tentu akan bisa bercampur dengan visi kita sebagai orangtua dan orang tua (jika kamu belum tahu, perbedaan definisinya; orangtua adalah ibu dan ayah kandung, sedangkan orang tua adalah orang yang sudah berusia tua). Saya akan sangat memaklumi hal itu, karena saya pernah tahu rasanya menjadi anak yang sudah berkeluarga.
Sasana Tresna Werdha (STW) RIA Pembangunan, rusun khusus lansia di Cibubur. |
D'Khayangan Jababeka Senior Living, Cikarang |
Entah belasan tahun dari sekarang, apakah pikiran saya ini bisa berubah atau gak, kita liat aja nanti hehe.
SUDUT PANDANG ANAK VS ORANGTUA
Sebagai anak yang sudah berkeluarga, saya punya sudut pandang yang sangat relevan, karena saya sedang berada di fase ini. Saya dan keluarga kecil saya belum memiliki rumah pribadi, dan masih akan berusaha memilikinya. Sementara, saya masih tinggal bersama orangtua dari suami saya. Selama beberapa tahun saya tinggal di sini, ada banyak perasaan bahwa saya selalu memimpikan rumah sendiri, karena semua kontrol akan ada di tangan saya. Gak perlu ada yang namanya sungkan, gak perlu takut berbeda pendapat, gak perlu takut merasa dihakimi karena value saya berbeda dengan value keluarga suami saya. Kenyataannya, keluarga suami saya sangat menerima saya dengan baik di sini. Saya gak dibedakan sebagai anak menantu, dan bahkan kerap dibantu dengan berbagai urusan. Tapi, memang tetap kehidupan yang paling ideal ketika sudah berumah tangga adalah kehidupan yang mandiri tanpa campur tangan orangtua. Dengan begitu, saya dan keluarga jadi lebih bisa merasa punya tanggung jawab besar terhadap rumah kami sendiri; kami harus merawatnya, mengurusnya, dan menjaganya terus. Kami gak akan lagi merasa bisa mengandalkan orang lain untuk mengurus area rumah yang bermasalah. Rumah kami adalah sepenuhnya tanggung jawab kami.
Mengapa gak tinggal di rumah orangtua saya? Saya menduga akan lebih buruk dari bayangan saya sendiri. Sewaktu belum menikah, saya adalah tuan putri di rumah. Segala sesuatu sudah disiapkan dan terima jadi. Wah, gak kebayang kalau terus-terusan keenakan begitu di rumah ibu saya. Bisa-bisa, saya jadi pemalas dan malah gak belajar berumah tangga sendiri karena mengandalkan ibu saya terus. Lumayan kurang ajar sih itu namanya, hahaha. Makanya, keputusan saya untuk pisah rumah dengan ibu saya, adalah untuk membentuk kemandirian saya atas tanggung jawab saya menjadi istri, ibu, dan diri saya sendiri.
Jadi, keinginan untuk berkehidupan mandiri dan lepas dari orangtua saat sudah berkeluarga memang menjadi impian besar saya. Bukan karena gak mau tinggal sama orangtua, hanya saja lebih merasa nyaman jika bisa tinggal di rumah sendiri.
Ketika nanti saya menjadi orangtua dan anak saya sudah beranjak dewasa, saya mungkin akan mengingat-ingat sudut pandang saya, yang mungkin juga akan dirasakan oleh anak/menantu saya kelak. Ketika mereka lebih memilih untuk mandiri dan pisah rumah, ya saya akan sangat menghargai keputusan mereka. Meskipun kelihatannya akan lebih seru jika bisa serumah dengan anak, menantu, dan cucu, tapi keputusan seseorang yang sudah berumah tangga gak seharusnya terbebani oleh kondisi orangtua yang gak mampu menjalani masa tuanya sendirian. Keputusan mereka juga gak seharusnya dicampuri oleh keputusan kami sebagai orangtua, hanya karena gak mau pisah sama anak. Ya, siklus kehidupan memang begitu, bukan? Mereka juga kelak akan jadi orangtua dan memikirkan tentang hal ini di kemudian hari. Dan kita, hanya akan bisa berpuas diri, ketika semua harapan telah sesuai dengan rencana kita. Kita juga sudah bisa berdamai dengan segala kemungkinan dan rahasia hidup yang sewaktu-waktu datangnya mengejutkan.
Gak ada yang salah dengan pilihan seseorang; ketika ingin hidup mandiri dan memisahkan diri dari orangtua, atau masih akan tetap tinggal bersama orangtua meskipun sudah berkeluarga. Semua keputusan kan kembali lagi ke keadaan yang harus dilalui, tanggung jawab yang dipikul, dan kondisi masing-masing. Yang pasti, kita semua mengharapkan kehidupan yang paling terbaik bagi semua pihak sehingga gak akan ada lagi yang merasa terbebani dan menjadi konflik di kemudian hari.
Semoga hari tua kita masih akan selalu menyenangkan, bahkan lebih menyenangkan daripada hari ini, saat kita berandai-andai tentang segala hal yang belum sampai pada masanya. Apa rencana masa tuamu yang pernah terlintas dalam pikiranmu?