Tiap sakit yang saya terima selama hidup, saya menganggapnya sebagai karma, pengguguran dosa yang pernah saya lakukan. Begitulah saya menghormati datangnya penyakit ke tubuh saya...
Selama dua puluh empat tahun hidup, mungkin bisa dibilang pertama kali saya 'menginap' di rumah sakit adalah saat saya dilahirkan oleh Ibu. Setelah itu, saya gak ingat bahwa saya pernah menyerahkan diri yang lemah di hadapan dokter selama berhari-hari di kasur rumah sakit. Dan saya gak mau sama sekali. Tapi, namanya manusia, cuma bisa takabur aja. Tapi, namanya umur, cuma tinggal tunggu waktu aja. Akhirnya saya bisa kayak orang-orang lain juga; masuk rumah sakit.
Waktu itu saya belum genap satu bulan menikah. Masih anget-angetnya jadi pengantin baru. Masih lengket-lengketnya mau bareng-bareng mulu. Eh, tapi masih harus kerja. Saya di kantor, suami di studio, nge-freelance. Di malam pas suami lagi pulang ke studionya di Jak-Bar, saya demam. Sampai besoknya, demam saya hampir mencapai 40°, saya izin dari kantor, lalu ke rumah sakit. Sebal. Karena saya akan pulang dengan membawa banyak obat yang harus saya habiskan berhari-hari.
Ternyata tidak. Saya gak bawa pulang obat. Malah saya gak bisa pulang dan 'buka kamar' di rumah sakit tersebut. Saya udah gak kuat berdiri, gak bisa kalau harus kena angin selama perjalanan pulang, padahal waktu tempuh gak sampai 10 menit. Kepala saya rasanya kayak udah pisah sama badan. Tumbang.
Saya ngabarin suami dan mertua kalau saya sepertinya harus dirawat. Suami saya, yang keadaannya belum tidur semalaman karena ngurusin kerjaan, langsung nyusulin saya ke rumah sakit. Infus mulai ditanam di tangan kanan. Obat dan makanan hambar mulai disajikan. Ibu mulai bawa-bawa perlengkapan karena harus menginap menjaga saya. Waktu itu saya sampai pakai sweater dan empat lapis selimut. Mual dan pusing sudah campur aduk. Mata saya gak kuat melek. Dan saya gak pernah ngebayangin kalau rasanya dirawat itu seperti ini. Lemas gak berdaya, seakan tubuh nyawanya udah tinggal sepertiga aja. Semua yang pertama kali ternyata memang tak terlupakan ya. Pertama kali jatuh cinta, pertama kali dicium, pertama kali punya uang, pertama kali naik pesawat, bahkan pertama kali dirawat di rumah sakit. Diagnosa dokter masih belum bisa keluar. Obat demam dan anti mual tetap diberikan.
Saya termasuk orang yang jarang sakit, tapi penyakitnya itu-itu aja. Masuk angin, meriang, flu dan batuk, paling parah, sariawan. Lah, parah gimana? Lha wong sariawannya sebulan bisa dua kali, kok. Sekalinya kambuh, bisa seminggu tersiksa. Gak bisa makan, gak bisa ngomong, minum aja tersiksa. Akhirnya dehidrasi, badan lemes. Yha, gitu aja penyakit saya yang paling parah. Tapi, jadinya kok sepele banget ya. Kalau izin gak masuk kerja karena sakit, dan ditanya 'Sakit apa?' saya jawab 'Sariawan' mungkin saya dibilang manusia paling loser banget kali ya di dunia ini :(
Tapi ketahuilah wahai manusia, penyakit sesepele sariawan pun bisa jadi kanker kalau baca-baca di Google (bukan begitu bukan?). Dan kalau polanya kayak saya yang sariawannya kayak menstruasi karena datang setiap bulan, memang lumayan jadi beban sih. Soalnya kayaknya ini juga yang bikin berat badan saya gak pernah lebih dari empat puluh lima kilogram selama dua puluh empat tahun hidup (emm, ini kebanggaan atau bukan?). Lha gimana, tiap sariawan jadi gak napsu makan.
Balik lagi ke rumah sakit. Eh, gak, maksudnya topik rumah sakit. Selama tiga hari saya dirawat, saya cuma dikasih makan dan obat doang, dokter jaga datang cuma nanya keluhannya apa. Dan belum bisa kasih diagnosa lagi. Katanya masih dicek di lab, kemungkinan saya DBD atau tifus. Hari keempat saya masih belum punya tenaga untuk (pura-pura membaik dan) minta pulang. Padahal udah gak tega lihat Ibu sama suami bolak-balik jagain saya. Dan suami jadi gak bisa lanjutin kerjaannya. Hari kelima, saya udah mulai seger. Bisa becanda, bisa pipis sendiri tanpa dianter, gak pura-pura membaik pokoknya. Akhirnya saya minta pulang. Tapi karena dokter jaganya gak ada, jadi saya baru bisa keluar besok, sekalian biar tahu diagnosa jelasnya juga (?). Tahunya dokternya cuma bilang kalau lambung saya luka. That's all.
Dengan ini saya menyatakan mengundurkan diri sebagai peminum kopi dan penyantap makanan pedas. Etapi gak lama, sebulan kemudian saya gak bisa nahan diri buat gak makan pedas. Tapi level-nya turun. Emang bandel aja, yang penting masih bisa makan pedas. Salah satu bentuk kenikmatan duniawi. Begitulah ke-norak-an saya yang baru ngalamin perawatan rumah sakit, dan berjanji gak akan balik lagi kecuali untuk melahirkan. Dengan ini pula, saya menganggap bahwa sakit saya yang kemarin adalah pengguguran segala kesialan saya di awal tahun, dan berharap semoga sepanjang tahun ke depan semuanya akan lebih baik dan lancar. Karena semua sialnya udah diperas habis di awal tahun.
Dua bulan kemudian, saya positif hamil.
Kurang sempurna apa misteri hidup kita di dunia ini?